Coretan di Sudut Waktu : Haiyya’allahsholah

Menghabiskan waktu selama tiga tahun di bumi Formosa membuatku mengenal makna kesepian. Hidup dalam kesendirian dan hanya bertemankan dengan imajinasi dalam mendiskusikan berbagai hal. Sisi humanis ku terkikis habis, bahkan sensitifitasnya membeku dalam dingin silaturrahmi.

Ya… di sini hidup sendiri-sendiri saja. Semua orang hanya memikirkan diri sendiri. Silaturrahmi yang ada begitu hambar, karena semua orang sudah disibukkan dengan permasalahannya masing-masing. Hingga tanpa bisa ku hindari, diri ini pun menjelma menjadi manusia egois dan tidak peka. Seringkali aku tidak peduli, dengan keadaan yang dihadapi oleh teman-teman. Karena dalam benakku, aku juga punya permasalahanku sendiri. Biarlah aku dengan masalahku dan mereka dengan masalah mereka.

Justru teman-teman di Indonesia yang bisa kujadikan tempat untuk berbagi, dan juga mengeluh. Karena bagiku, hanya mereka yang mau mengerti aku, hanya mereka yang bersedia untuk paham akan keadaanku. Rutinitas menggila dikehidupan di Taiwan, membuatku sama dengan mereka… hidup layaknya robot.

***

Beberapa artikel tidak bisa tuntas ku baca, entah karena cuaca yang panas atau karena pikiran ini yang tengah mengembara kemana-mana. Aku merasa sedang berada disebuah posisi yang sangat terpojok, yang merasa… satu persatu orang-orang pergi meninggalkanku, dan aku tidak peduli. Ya… aku tidak peduli. Aku merasa tidak punya cukup waktu untuk berbasa-basi, apalagi, sejauh ini memang tidak ada basa-basi antara aku dan orang-orang disekitarku. Hubungan kami bergitu gersang, berkumpul hanya karena kewajiban. Apalagi jika satu demi satu mereka lalai dengan amanah yang mereka miliki, hanya geram yang ada dihatiku. Sedikitpun aku tidak punya niat baik, untuk membicarakannya dari hati ke hati. Tampaknya…. Hati ku telah lama hilang. Tertimbun dalam dinamika hidup. Pun dari pihak disebrang sana, tak pernah ada upaya dari mereka. Selalu aku yang harus memulai duluan, dan kini aku sudah berada di puncaknya… caapeeek…

Ya… aku lelah dengan semua ini. Aku yang penuh semangat, telah kehilangan semangat itu. Aku yang biasanya selalu berapi-api dan selalu bisa mempersuasi orang lain, kini telah padam. Aku benci dengan diri ku sendiri… aku benci dengan mereka yang tidak pernah mau mengerti. Udara disekitarku pengap… sesak…. memancing amarah dan mengikis rasa sabar.

Ku segarkan diri dengan mengambil wudhu, mampir ke mushalla di sebuah toko Indonesia yang sedang aku sambangi. Belum banyak orang di sana, dan jam pun baru menunjukkan pukul 12.00, masih 16 menit lagi waktu shalat. Ku alihkan langkah ke ruang ganti dadakan. Kebetulan siang itu akan ada pengajian bersama, dan banyak TKI-TKI yang datang dengan pakaian yang “tidak layak”. Sang pemilik toko dengan murah hati menawarkan baju muslimah yang dimilikinya, untuk dipinjam oleh mbak-mbak yang berpakaian mini.

Ku ambil posisi di pojok ruangan, membolak-balik mushaf kecilku. Semoga saja… diri ini dapat sedikit lebih tenang. Mbak-mbak yang ada di ruangan heboh dan saling mengomentari dandanan “baru”mereka. Aku masih tidak peduli, masih sibuk dengan aktivitasku. Waktu yang berjalan tak lagi jadi perhatianku.

Kriing…kriiing…

HP ku berbunyi. Ku lihat nama Ustad yang akan mengisi acara berkedip-kedip dilayarnya. Ya, selama beliau berada di Taiwan, aku di amanahkan untuk menjadi sekretaris beliau. Membantu mengurusi jadwal kunjungan dan pengajian dari organisasi-organisasi pekerja yang ada.

Cepat ku jawab panggilan itu, karena pastinya ada hal yang penting, hingga ustad menelpon. Karena biasanya hanya mengirimkan sms atau email.

“Assalamu’alaikum wr wb, ya ustad?”

“Sudah waktunya shalat mbak.”

“EEh.. eh..iya…” kelagaban ku tutup telpon dan berlalu ke mushalla. Ada angin segar yang serasa berhembus di siang terik musim panas itu. Ada airmata yang mendesak ingin keluar. Tidak ada yang istimewa memang… namun ajakan shalat itu sungguh serasa seperti mata air di padang yang tandus dan gersang. Selama berada di Taiwan, belum ada seorang pun yang mengingatkanku untuk shalat…Tidak…. Karena semua orang sibuk dengan diri mereka masing-masing… jangankan mengajak untuk shalat… menanyakan kabar saja tampaknya tidak sempat.

Hatiku yang gersang mulai menghangat, dan rindu akan Indonesia semakin membuncah… rindu akan sebuah ukhuwah…. Yang begitu susah untuk kudapati di tanah rantau ini.

Allah… aku ingin pulang….

14 Ramadhan 1432 H

2 thoughts on “Coretan di Sudut Waktu : Haiyya’allahsholah

Leave a reply to mphy Cancel reply